Monthly Archives: Desember 2010

Journey of MY soul

Haji dan hajjah, inilah sebuah cerita perjalanan jiwa – journey of the soul, journey of MY soul. Saya bukan Sang Pencerita, jadi silakan masukkan tissue dan saputangan anda. Insya Allah tidak ada air mata.

Aku – calon jamaah haji pemegang segala nomor cantik. Nomor urutku sudah cantik: 212. Nomor telepon Arabku sangat indah: 547 537 857. Aku pun ditakdirkan menjadi ketua regu LIMA belas, yang menjadi bagian dari bus LIMA.

Ka’bah waktu terik



Sahabat.

Sebuah ledakan sangat keras terdengar dari arah yang tidak saya harapkan – arah pesawat. Ledakan seperti suara bom, namun tidak membuat panik. Ledakan yang sekonyong-konyong membuat saya dan rekan satu regu berhasil memecahkan es kebekuan komunikasi. Karena tiba-tiba semua orang saat itu mempunyai keahlian yang sama, menjadi seorang ahli spesialis …. TAMBAL BAN.

Itulah ledakan dari ban pesawat yang akan kita naiki, yang telah dengan sukses membuka acara perjalanan dengan sebuah keterlambatan. Keterlambatan yang untungnya tidak digerutui, karena masih segar di ingatan amanat di acara pelepasan untuk siap-siap bersabar dalam perjalanan ruhani ini. Itulah juga saat Ketua Rombongan memperlihatkan kepemimpinannya dengan langsung menggotong box berisi kue-penganan pengganjal perut. Itulah awal saat jiwa-jiwa yang mengharapkan penyucian, memperlihatkan watak aslinya: berebutan atau antri dalam mengambil minum. Itulah juga saat kutemukan beberapa hati malaikat muncul di antara mereka, yang berbaik hati berbagi makanan pribadi bekalnya sendiri, dari mulai jus, air minum, roti, permen bahkan kuaci.

Lalu, tibalah saatnya membuktikan lagu berjudul ‘I believe I can fly’. Saudi Airlines, burung besi yang membawa kita terbang, terlihat begitu …. Eksotis. Ya, eksotis bukan dari fisik pelayan-nya – astaghfirullah. Namun eksotis dengan goyangannya – karena saya penghuni kursi paling belakang. Eksotis juga karena saya merasa berada di diskotik, dengan kerlap-kerlip lampu baca yang rusak tidak terkontrol. Dan eksotis karena … HOT you know, panas. Namun Allah sudah memudahkan perjalananku. Sembilan jam perjalanan Jakarta-Madinah terasa bak perjalanan Jakarta-Bandung lewat Puncak dulu, naik bis dari Kampung Rambutan, tersadar di Padalarang.

Lalu, dimulailah episode suci itu.

Madinah. Kunikmati lima hari terindah di tanah suci. Kureguk nikmat rohani di Mesjid Nabawi. Shalat tahajud, berdoa di Raudhah dan mengaji. Dan …. berdekatan dengan Sang Nabi.

Ya Ilahi Rabbi, alangkah nikmat rejeki yang kau karuniakan kepada kami.

Kudengar langsung lantun adzan syahdu penyentuh kalbu. Allahu akbar, Allahu akbar … dengan oktaf terus meninggi. Kubermakmum kepada imam yang tilawahnya kudengar selalu – dulu, diselingi ulangan takbir sang muadzin terutama: ‘rabbana wa lakal hamdu’. Kushalat berdampingan dengan makam Rasulullah – kekasihMu.

Kujelajahi relung-relung mesjid terindah itu. Babussalam – yang kusangka Raudhah. Raudhah itu sendiri – yang menjadi tujuanku beberapa kali. Saf di bangunan asli ataupun bangunan tambahan. Di atap bernaungkan gelapnya malam. Bahkan di saf pertama di pelataran, dengan teduhnya payung-tenda bak alien jika sedang kuncup. Indah di segala sisi. Indah di segala sudut.

Itulah episode tatkala air mataku tumpah berurai, saat hatiku begitu lembut tersentuh, saat jiwa rapuhku begitu damai … damai …, serta saat pikiranku begitu tertuju – fokus.

Kenyataan ternyata bisa menyingkirkan keegoanku dan melepaskan keakuanku saat itu. Ternyata dunia bukan untukku sendiri. Bukan hanya diriku yang berpentas di dunia ini, karena kusaksikan dan kunikmati keberagaman di sekelilingku. Berbagai ras, benua dan negara. Berbagai sifat, karakter dan bahasa. Berbagai etnis, profesi dan tradisi.

Bhineka Tunggal Ika. Bhineka dalam ciptaanMu. Tunggal dalam tujuannya: Labbaik Allahumma Labaik.

Kenikmatan yang kureguk sangat lengkap. Kenikmatan rohani ini juga ternyata dilengkapi dengan kenikmatan duniawi. Hotel nyaman, sepelemparan batu dari tujuan. Makanan nikmat, menu lengkap. Belanja gampang hingga riyal terbuang. Bahkan ritual selebriti pun – macam berkunjung ke Jabal magnetic dan sentra karpet pun terpenuhi.

Sahabat,

Kutinggalkan lima hari terindah itu dengan hanya dua potong kain menempel di badan, sesuai tuntunan. Dua potong saja. Tanpa kemeja, tanpa celana. Bahkan yang membikin ku risi dan kagok, seperti dialami bapak-bapak lainnya, dalamanpun tidak boleh kupakai. Dan kulalui perjalanan antara dua tanah suci tanpa celana dalam, dan kudatang persis seperti bayi yang hanya memakai popok. Polos. Suci. Insya Allah.

Kutiba dini hari di Makkah al Mukaramah. Masjidil Haram terlihat elegan. Ka’bah terasa agung. Namun saya sedikit terganggu dengan keberadaan Tower Zamzam dan jam indahnya yang sepertinya angkuh berdiri mengawasi, dengan mall nya yang duniawi yang hanya selompatan dari pintu Abdul Aziz, pintu masuk ke pusat rohani.

Lalu, dimulailah ritual ibadah pendahuluan penuh tantangan: umroh. Thawaf dengan pengerahan tenaga, kesabaran, keikhlasan dan juga kedermawanan memberikan jalan bagi yang memotong arus, serta kelembutan dan empati terhadap yang lemah. Sai juga adalah aktifitas pengerahan fisik, berjalan sekitar 3 kiloan, dengan lari-lari kecil di antaranya. Di Maqam Ibrahim saya dapati tangisan pertama diri di Mekah atas dosa dan noda masa lalu. Dan kututup dengan tahalul sepuluh rial dengan mesin cukur nomor dua, agar tersisa rambutku untuk tahalul haji.

Hari-hari selanjutnya penantian ritual haji, saya isi dengan bolak-balik ke Masjidil Haram, solat fardhu berjamaah, I’tikaf, baca Qur’an, thawaf sunnat dan berdzikir. Namun sahabat, tidak kutemukan suasana ruhani seperti di Masjid Nabawi, yang khusuk, syahdu dan menembus kalbu. Di Masjidil Haram, keromantisan ruhani terkalahkan oleh kerasnya usaha dan besarnya upaya saya hanya untuk mendapatkan tempat bersujud di dalam masjid. Padatnya Masjidil Haram, seiring mendekatnya waktu berhaji, ditambah dengan ibadah yang bercampur antara laki-laki wanita, membuat kondisi hiruk pikuk. Waktuku untuk menangis akan dosa tergantikan kebingungan mencari tempat yang sedikit longgar untuk kududuki, terkalahkan hingar bingar perdebatan orang terhadap safnya yang diduduki atau terbenam dalam teriakan-teriakan askar pengaman dan pengatur yang sibuk menyingkirkan jamaah perempuan dari saf depan. Jangankan menangis Pak Ustadz, kesyahduan berhadapan dengan Ka’bah yang agung pun bahkan harus kucari dalam-dalam.

Satu dua jam sebelum adzan, saya harus sudah berangkat. Kurang dari itu, silakan nikmati padatnya pelataran. Lebih kurang dari itu, pelataran pun tak kudapat, terpaksa kubersolat di lantai dasar Mall, yang selesai salam bisa langsung bershopping jika mau. Bukankah kalau keseringan, diikuti seringnya berthawaf di toko aku bisa menjadi Haji Mall?

Namun saya nikmati ibadah ini saudaraku, seperti halnya kunikmati perjalanan persiapan haji di hari Tarwiyah. Kepindahanku dari hotel nyaman ke apartemen biasa di pesisian, Alhamdulillah tidak menggangguku. Aku bukan complainer, aku lebih suka menyimpan tanya dalam hati karena kuberusaha mencoba ikhlas dalam segala hal. Namun aku juga masih manusia biasa, sehingga tanya itu tetap mengemuka: ‘kenapa satu ruangan berukuran dua kali ruangan lain – seperti ruanganku ini, kok sama-sama dihuni lima orang? Why?’.

Percayalah Pak Ustaz Firman, saya ingin komplain mengenai hal itu, tapi saya kan sudah berjanji ingin berusaha ikhlas. Dan saya bukan komplainer. Jadi saya terima hal itu, apalagi setelah saya mendapatkan anugerah empat orang rekan sekamar – saudara baruku – yang cerdas, bernurani dan santun sehingga saya sama sekali lupa tentang komplain itu karena mendapatkan percakapan, diskusi dan gurauan yang berisi, mengalir dan intelek. (Semoga persaudaraan kita terus berjalan H Amir, H Soleh, H Ari, H Ruby).

Sehari di lokasi apartemen Tarwiyah, setidaknya mulai memperkenalkanku terhadap saudaraku jemaah lainnya. Sebuah nikmat Ilahi bagiku karena aku bisa dengan santai memperhatikan sikap-perilaku-polah dan kepribadian mereka sebagai individu atau berkelompok. Kebanyakan dari mereka berperilaku santun, memperlihatkan tujuannya untuk ibadah, mempergunakan waktunya untuk berdoa dan berdzikir, dan bercakap-diskusi dengan rekan jamaah atau bahkan dengan ustadz. Ada juga yang hatinya mudah tersentuh dengan tangisannya yang terdengar bahkan dari ujung saf. Namun, ada juga mereka-mereka complainers yang dengan gampang mengkomplain apapun itu. Atau mereka yang berkelompok dalam ahli hisap – yang berusaha keras menghentikan kebiasaan merokoknya dengan minum kopi atau bersenda gurau. Ada juga beberapa yang tergolong pelor – nempel molor – yang hanya karena angin sepoi-sepoi atau karena buaian suara ustadz saat ceramah, langsung terbang ke alam mimpi. Bahkan jika perlu diiringi dengkur yang mengalahkan suara sang ustadz.

Manusia begitu berwarna, karena aku temukan juga mereka yang berjiwa petualang, yang muda dan penasaran, sampai berkelana ke Jabal Nur atau ke Jabal Tsur. Gua Hira tak ketinggalan. Namun ada juga dia yang ‘berpetualang’ dan hilang, sampai diketemukan muthawif, empat kilometer dari lokasi.

Di belahan sana, terlihat juga sekelompok jamaah yang berperilaku seperti selebriti atau menunjukan ‘lu tau siapa gua?’. Atau keperhatikan juga mereka yang tergolong Miss Jinjing, yang berkonsentrasi dalam melontar rial dalam berbelanja dengan selintasan kata ‘beli aja karpet itu, gak ada model karpet seperti itu di Indonesia loh. Aku sudah cari-cari kok di Jakarta’. Namun sebagai kontradiksinya, aku temukan juga sekelompok jemaah yang begitu tenang, rapi dan tidak silau dengan segala hal berbau kemodernan – bahkan tidak peduli mengenai pengambilan foto di momen-momen bagus. Mereka sangat tertib, bahkan kelompok ini seakan menampar kelompok lainnya dalam ketertiban dan keikhlasan.

Mudah-mudahan saya bisa mengambil hikmah dari kenikmatan memperhatikan segala tingkah polah itu.

Lalu dimulailah perjalanan haji dengan kain dua lembar itu. Kali ini, aku sengsara tidak bercelana dalam lebih lama lagi, selama hampir tiga hari. Tiga hari pula aku tidak berganti kain. Tiga hari pula aku tidak mandi bersabun. Namun, itulah tuntunannya. Sami’na wa atho’na.

Perjalanan pertama adalah bermalam di Mina. Mina, tempat yang biasa saja, tidak lebih terkenal dari Arafah. Namun ini Mina yang ditasbihkan Pak Ustadz dengan ungkapan: Ini Mina Bung!!

Mina dalam sehari semalam belum menunjukkan dirinya. Belum semua jemaah mengisi tendanya, hanyalah mereka yang bertarwiyah seperti kami. Kami masih memiliki keleluasaan mengantri, baik itu untuk mengisi perut atau untuk mengurasnya. Namun mulai juga kurasakan ketidaknyamanan di bawah tenda, bersama ratusan orang, dengan pendingin udara bermasalah, dan beberapa orang tidur bersuara.

Esoknya kupersiapkan diri di puncak haji. Arafah. Wukuf. Setengah penggalan hari saja. Ba’da Dzuhur sampai Maghrib. Kurang dari enam jam. Tanpa wukuf, bukan haji namanya. Waktu mahal, waktu istimewa, waktu makbul namun bisa saja diabaikan begitu saja. Tidak ada yang dikerjakan di sini selain …. berdoa, berdzikir, mengakui dosa, taubat nasuha, berdzikir lagi, berdo’a lagi dan …. menangis.

Saudaraku,

Waktu mahal itu telah kubeli. Dan kumanfaatkan dengan efektif karena efektifnya bimbingan ibadah para ustadz yang terus menerus mendampingi kami di miniatur Padang Mahsyar itu, dengan do’a, dzikir dan pengajian, tanpa memberi peluang waktu kosong tempat syetan mengumbar perangkap dalam bentuk ngantuk, tidur, merokok dan ngobrol. Terima kasih para ustadz yang telah membantuku mengatur dan memanfaatkan waktu yang kubeli sangat singkat dan mahal ini.

Aku menangis di sana saudaraku. Terbayang di pelupuk mata dosa dan maksiat yang kubuat selama ini. Dosa pada istriku, anakku, saudaraku, teman-temanku. Dosa pada bapakku. Dosa pada ibuku. Dan dosa pada diriku. Juga dosa padaNya. Aku menangis. Malu. Dan air mataku juga tumpah di pundak jamaah-jamaah lain, seperti halnya jamaah lain pun berurai air mata di pundakkku pada akhir wukuf. Syahdu.

Lalu, kutinggalkan kesyahduan dan kuberiring pergi ke Muzdalifah mengumpulkan kerikil dan rebah bermalam. Semalam. Bukan satu dua jam. Semalam, sesuai sunnah. Bersama ratusan ribu jamaah yang menghuni jengkal demi jengkal Muzdalifah. Ketika di Arafah yang luas, tak kusaksikan lautan manusia karena terhalang tenda, namun tidak di Muzdalifah ini. Sejauh mata bisa memandang, hanya warna tanah malam terhalang putih dan putih dan putih yang menutupi. Putih kain ihram. Putih jutaan manusia. Indah. Agung. Massal.

Kusempatkan tahajud di tanah lapang beratap langit. Kuberbaring menanti pelupuk mataku menutup. Kubaca Qur’an mengiringi subuh tiba. Dan kami baca Al Ma’tsurat sambil menanti bis jemputan ke Mina.

Tatkala matahari berada di sepenggalah, saat itulah kami tiba di Mina. Mina yang sesungguhnya dari ungkapan ‘Ini Mina Bung!!!’. Mina yang sudah bersiap menggoda dan menguji manusia dengan segala hal wajar, manusiawi tapi begitu membahayakan karena menyangkut ujian keimanan, kesabaran, keikhlasan, tempat manusia mendapatkan cermin tingkah lakunya masing-masing. Empat hari ku di Mina. Empat hari pula kuberjuang. Dan empat hari adalah waktu yang panjang.

Hari pertama, sedatangnya dari Muzdalifah, kuikuti arahanmu Pak Ustadz. Langsung kita bersama menjalankan melontar satu jumrah saja: Aqabah. Inilah kali pertama kuberjumrah. Inilah saatnya kumengenal terowongan Mina: Muaisim. Inilah saat kusadari beratnya melempar jumrah: berjalan cukup jauh dan suasana padat. Terbayang padatnya suasana jika sekian juta jamaah haji dalam satu hari ini harus melontar satu buah jumrah. Bayangan yang membuat ku khawatir.

Namun Allah tenyata memberi kelancaran dan kelapangan bagi kita. Sekonyong-konyong petugas membuka jalan untuk melontar di lantai tiga. Aku pikir ini adalah hasil negosiasimu, Pak Ustadz. Namun kau bilang kau tidak bernegosiasi. Kau tidak lakukan apa-apa. Kau hanya mengangkat tangan dan mendoakan orang tua petugas jaga itu dengan doa tulus dan baik-baik. Berdoa untuk ibunya, persis di depannya. Kau berhasil luluhkan hatinya dengan doa. Masya Allah. Begitu sejuk.

Jumrah pertama begitu lancar, serasa seluruh jamarat adalah milik kita. Terbayang usaha keras yang harus dilakukan jemaah dulu, sewaktu melontar harus dilakukan hanya pada satu lantai, dan tugunya pun masih seperti miniatur tugu pahlawan. Sepanjang perjalanan pulang dengan suasana berdesakan, terbayang pula kejadian terowongan Mina dahulu, dimana ratusan orang meregang nyawa berdesakan, berdempetan di dalam terowongan yang tidak dipisah pergi dan pulang.

Jumrah hari kedua – dengan tiga lemparan: Ula, Wutsa dan Aqabah pun berjalan sama lancarnya di lantai tiga. Hari ketiga dan keempat pun demikian, meski kita melakukannya di lantai dasar. Subhanallah. Allah memberikan kita kelancaran.

Di hari pertama di Mina itulah aku tutup aktivitasku dengan bercukur. Kuputuskan menggundulkan kepalaku penuh, plontos, seperti halnya bayi selesai Aqiqah, seperti halnya kepala Cuplis di sandiwara si Unyil atau seperti halnya Upin – atau Ipin. Tahalul adalah simbol mengorbankan harta yang paling berharga dan membanggakan: rambut. Namun, tahalul bagiku mungkin tidak terlalu berat, berhubung kepalaku memang sudah terbiasa berambut tipis. Sehingga aku begitu hormat dan bangga dengan adiku jemaah lain, yang muda, good looking dengan rambut mohawk kerennya, yang rapi bergel, ternyata berani memotong habis rabutnya dan gundul persis mahasiswa baru dipelonco (itu kamu, H Redy).

Empat hari di Mina, aktifitas utama kita memang melempar jumrah dengan 70 butir kerikil. Di luar itu, kita hanya tinggal di tenda, berdiam diri atau berdzikir. Dan ternyata, di situlah letaknya cobaan dan ujian Mina terberat. Karakteristik dasar kita akan serta merta terlihat di sini. Watak dasar kita sekonyong-konyong nongol. Kadar kesabaran, keikhlasan, kesantunan, kesalehan dan keimanan kita betul-betul muncul.

Antrian makan di Mina
Suasana di bawah tenda di Mina



Edisi ‘Ini Mina Bung!!!’ dimulai. Ucapan harus dijaga, hati harus bersih. Bagaimana kita menyikapi antrian ke toilet pada saat kebelet, padahal masih ada lima orang mengantri di depan kita? Apakah emosi kita terkendali selagi lapar, mengantri dua puluh orang, tiba di depan kantin, tersisa hanya nasi tanpa lauk. Atau, jikapun nasi dan lauk lengkap, tidak tahunya ada orang menyerobot persis di depan hidung kita. Atau, jikapun tidak ada yang menyerobot, si petugas kantin – yang masih anak-anak, hanya memberi ikan sangat sedikit ‘seiprit’. Atau jika itupun tidak terjadi, nasi dan laukpun utuh tidak tersentuh, karena masakan itu kurang satu hal: ‘rasa’, bahkan asin pun tak ada.

Kembali ke tenda, pendingin udara tidak bekerja normal meski berkali-kali diperbaiki. Tidur berdempetan dengan jemaah, miring kiri hampir mencium wajah tetangga yang brewok, miring ke kanan kena tangan tetangga yang bebas terlentang. Bahkan berbaring tegap memandang ke atas sambil menghitung kambing pun tidak sukses, karena kambingnya kabur mendengar dengkur lebih kencang dari burung tekukur.

Hari ketiga, masalah dan penerimaan pribadi campur aduk, ketakbiasaan mensiasati problema mengemuka seiring tidak adanya perubahan kenyamanan suasana: AC tidak dingin dan makan harus ngantri. Uneg-uneg yang sudah berada di kerongkongan akhirnya jebol dalam bentuk protes, dan terkristallah itu dalam dua kubu, nafar awal dan nafar tsani. Kami-kami yang hanya manut dengan program Maghfirah pun akhirnya harus memilih, karena inilah demokrasi: ‘tidak tercapai kemufakatan? Voting!’.

Kutidak menganggap hal itu sebagai sebuah batu sandungan. Sama sekali tidak. Itulah romantika kehidupan, meski ternyata dengan terkaget-kaget kusadari bahwa voting pun tidak berarti. Namun, aku kan ingin beribadah. Akhirnya, kudapati aku menyelesaikan lontaran batu ke tujuh puluh, pada saat kupahami sebuah inti: Baiah Aqabah dan bersama mengucapkan Janji pribadi sebagai seorang haji. Dan usailah episode Mina yang penuh warna.

Saudaraku, sekembalinya ke apartemen, kudapati kenikmatan makan yang luar biasa. Makanan dari penyedia yang sama yang disajikan sejak di Mekah – yang saking terbiasanya bahkan mencium bau tempat makannya pun dari jarak sepuluh meteran sudah membuat mual, saat itu terasa aduhai nikmatnya. Nikmat karena ada ‘rasa’ yang tidak kudapatkan di kantin maktab Mina. Makin kusadari jika nikmat makan bukan dari ‘apa’ yang dimakanan, tapi dari ‘rasa’ semua indera – termasuk hati dan persepsi.

Masih tersisa dua hari aku berdiam di apartemen. Tersisa tiga ibadah yang harus kulakukan: thawaf ifadah diikuti sai, dan thawaf wada.

Thawaf ifadah ternyata berat, saudaraku. Lebih berat dari thawaf-thawaf yang sudah kujalani. Mungkin karena kuharus berkeliling berbarengan waktunya dengan ratusan ribu orang yang juga berthawaf ifadhah. Berdesakan dan pengap sudah pasti. Namun kubersyukur bisa menjalaninya dengan lancar, dengan kelompok yang utuh. Namun, saking penuhnya, bahkan kutakdapat secuil pun tempat untuk bersolat atau berdoa di Maqam Ibrahim. Bahkan inilah pertama kalinya kuterpisah dengan istriku karena lepas genggaman tangan. Namun kutemukan dia kembali sebelum kubersa’i.

Aku bersa’i kembali melakukannya di lantai satu. Kucoba resapi perjalanan sofa marwah terakhir ini di tengah kehirukpikukan mesjidil haram. Dan kuselesaikan tujuh perjalanan dan kututup dengan linangan air mata. Air mata bahagia dan syukur. Lega karena akhirnya telah kuselesaikan semua rukun dan wajib haji, dan lengkaplah hajiku. Lengkap dari segi syar’i, namun tentunya harus dibuktikan kelengkapannya dengan kemabruran sejati. Kupeluk istriku. Kupeluk saudaraku, jamaah lainnya. Kami semua menangis, saudarku. Perjalanan haji kami sampai selesainya seluruh proses ritual rukun dan wajib haji telah Dia lancarkan. Alhamdulillah Rabbi.

Dan hari terakhir di Mekah, aku merasa syahdu. Sesuai anjuranmu Ustadz, kuberthawaf wada berdua istriku. Kunikmati mengawali thawaf dengan ber’Bismillahi Allahu Akbar’ dari sudut Hajarul Aswad. Kuimami bertakbir, berdzikir dan kubaca juga do’a dari buku tuntunan, dan istriku menimpali. Indah saudaraku. Indah. Di putaran terakhir, tatkala kuberdoa untuk diriku, rumah tanggaku, istriku, anakku, ibuku, ayahku dan saudaraku, tak terasa aku menangis lagi. Apalagi kutahu ini thawaf terakhir yang boleh jadi tidak ada thawaf lagi sepanjang hidupku. Boleh jadi tak ada kesempatan lagi bagiku mengunjungi rumahNya. Boleh jadi aku keburu memenuhi panggilan ketigaNya: mati. Biarkanlah thawaf perpisahan itu menjadi thawaf terindah. Biarkanlah doa di Maqam Ibrahim setelah itu menjadi doa paling syahdu. Namun kuyakin, Allah tahu yang terbaik bagi ummatNya.

Itulah ibadah penutupku, karena kemudian tinggal perjalanan pulang bertemu keluarga melewati Jedah. Jedah yang ternyata meninggalkan cerita bagiku. Bukan. Bukan tentang Al-Balad yang kurasakan seperti di Pasar Baru atau bahkan di Tasikmalaya – dengan pelayan berbahasa Indonesia dan disambut Wilujeng Sumping. Tapi terjadi suatu peristiwa, yang kujuluki: ‘Tragedi bin-Dawood, Tepuk Tangan Bis Lima’.

Itulah selintas perjalanan rohaniku – Journey of my soul – bersama dengan Al-Maghfirah.

Seperti yang kuceritakan di Jedah, rambut boleh sama hitam – itu dulu, sebelum tahalul. Kepala boleh sama gundulnya – itu sekarang. Namun seribu kepala seribu pendapat. Seribu pendapat seribu kesan, dan tidaklah elok menyeragamkan sebuah kesan. Biarkanlah itu menjadi privilege masing-masing pribadi. Namun, ijinkanlah aku memberikan kesan pribadiku terhadap perjalanan ini, yang boleh jadi tidak mewakili jamaah lainnya.

Pak Ustadz,

Sejak pertama kali daftar ONH plus, saya punya tanya: ONH plus? Plus dalam apanya? Kan bisa tiga plus. Plus fasilitasnya. Plus waktunya (maksudnya cepat). Atau plus bimbingan ibadahnya. Memang saya mengharapkan plus ketiganya ketika saya bergabung dengan Maghfirah. Namun itu terlalu ideal kan? Dan saya bergabung dengan Maghfirah atas dasar referensi ustadz di kompleks saya, dengan catatan Maghfirah unggul dalam hal bimbingan ibadahnya. Dan itulah yang aku cari Pak Ustadz, karena aku orang yang butuh bimbingan.

Karenanya saya sambut seruan Pak Ustadz dari pertama kali berangkat untuk membersihkan hati dan meluruskan niat. Niatku saat itu insya Allah adalah untuk ibadah. Karenanya, saya sangat berterima kasih dengan bimbingan para ustadz di Maghfirah, karena saya rasakan sekali bimbingannya. Saya harus akui, sekali lagi ini kesan pribadi, bahwa saya harus acungi jempol atas bimbingannya. Bimbingan, mulai dari awal manasik, hari-hari di Madinah, Mekah, Arafah dan Mina. Tiada hari tanpa siraman rohani para ustadz. Dan saya angkat topi dengan kualitas ustadz yang membimbing kami, semua mumpuni.

Saya pun melihat sebuah sinergi yang sangat indah di antara para ustadz, yang tanpa banyak bicara memperlihatkan koordinasi dan pembagian tugas yang jelas. Ustadz Hatta ibarat kepala rombongan, sebagai kepala pasukan pembuka. Ustadz Ratmono ibarat kepala pasukan penutup, ustadz sapu jagat. Ustadz Muin dan Khusairi ibarat pasukan inti. Dan saya sekali lagi angkat topi atas keindahan kebersamaan yang diperlihatkannya, serta keindahan penghormatan akan perbedaan pendapat yang mengemuka, jika ada.

Saya terus terang sangat puas dengan bimbingan ibadahnya Pak Ustadz. Bahkan di Arafah, saya sangat berbangga karena kita bisa memanfaatkan waktu mahal itu dengan efektif. Terima kasih Ustadz Hatta. Ustadz Muin. Ustadz Khusairi dan Ustadz Ratmono. Tidaklah berlebihan jika ustadz di kompleksku merekomendasikan Maghfirah sebagai pembimbing haji yang sangat bagus dari segi ibadah.

Nah, gimana juga dari segi fasilitas. Hmm… Tergantung dari sisi mana kita melihatnya. Hotel Movenpick di Madinah, bagus. Hotel Zamzam di Mekah, bagus meski pelayanannya tidak seperti yang diharapkan. Apartemen di Aziziyah, bolehlah jika lebih direview lagi dan dibandingkan antara besarnya ruangan dengan banyaknya orang. Kemah di Arafah? Gak terlalu signifikan lah, kita cuman 6 jam di sana kok, tapi so far bagus. Kemah di Mina? Memang fasilitas di sini urusan Maktab, jadi mungkin tidak terlalu objektif jika mengkomplainnya kepada Maghfirah. Dan sayapun cukup yakin jika Ustadz Firman dan kawan-kawan memahami apa yang terjadi dan menjadi ketidaknyamanan kami. Mudah-mudahan ke depannya, jika Maghfirah memiliki keleluasaan untuk memilih mothowif maktab, semoga mendapatkan yang lebih profesional.

Dan terakhir di Jeddah, ternyata para Ustadz ‘tahu yang jamaah mau’ dan pintar membuat kejutan. Siapa yang tidak terkejut jika semua pasangan suami-istri, baik itu yang memang awalnya ikut berdua, bertiga atau berempat, mendapatkan masing-masing satu kamar di Ramada Hotel. Ustadz memang memahami biologis manusia. Dan kami semua tersenyum bahagia, dan melirik kepada pasangan masing-masing. Bahkan yang berkhidmat kepada orang tua pun, saat itu sengaja untuk dipisahkan. Dan tahukah Pak Ustadz? Lihatlah wajah-wajah cerah para jamaah keesokan harinya, cerah-ceria-bahagia. Bahkan ada yang sempat berceloteh ‘Ya Pak Ustadz, perpanjang dong nginepnya dua malam lagi kek’.

Saya juga puas dengan pengorganisasian bis sewaktu di Mina, sehingga kami tidak bermacet ria berjam-jam di jalan.

Kesimpulannya Pak Ustadz, bagiku pribadi, saya puas berhaji bersama Maghfirah. Terima kasih sekali atas segala bimbingan dan fasilitasnya. Terima kasih kepada semua ustadz, muthawif dan semua pihak di Maghfirah. Mohon maaf jika kami terlalu rewel, terlalu banyak komplain. Tapi insya Allah, itu untuk kebaikan bersama.

Cag, 1 Desember 2010

Kepadatan pelataran Masjidil Haram