Category Archives: Jeddah

Emang, gue pikirin! Jilid 2

Jedah. Hari terakhir di Saudi. Ritual haji telah diselesaikan lengkap. Thawaf pamitan – Thawaf Wada’ yang menyentuh, pun telah dilakukan. Dan saya telah meninggalkan dua tanah suci, Mekah dan Madinah, dalam persiapan kembali ke Jakarta. Bahkan upacara perpisahan pun sudah dilakukan di pagi harinya, di mana ustadz kembali mengingatkan arti haji mabrur dan indikasi seseorang telah menggapai haji mabrur – memberi manfaat kepada orang lain. Namun ternyata, sayang di sayang. Saya justru melihat pertunjukan antogonis dari seorang jamaah pada perjalanan di hari terakhir itu, kontradiksi dengan arti mabrur.

Kami chek out jam dua siang. Jam sembilan malam kami harus sudah berada di bandara, karena untuk haji, setidaknya harus berada di sana empat jam sebelum keberangkatan. Direncanakan kami akan berjalan berkeliling kota Jedah untuk mengisi waktu sampai mendapat giliran makan malam di restoran Thai jam 8an.

Di tengah perjalanan tersebut, tiba-tiba bis kami berhenti. Bin Dawood. Itulah nama gedung di depan kami berhenti. Itu adalah nama supermarket sekelas carefour di Indonesia. Kemudian seorang jamaah berdiri dan buru-buru mendekati istrinya yang duduk persis di depanku. Jemaah yang “terkenal” itu meminta beberapa lembar uang untuk membeli sesuatu. Saya dan anggota rombongan lainnya sama sekali tidak mengetahui apa yang terjadi, sampai kemudian dia turun sendirian, menuju supermarket tersebut.

Saya saat itu bepikir bahwa dia minta diturunkan untuk membeli beberapa keperluan pribadinya, dan tidak perlu ditunggu, dan dia akan kembali bergabung di restoran dengan memakai taksi. Namun, pikiranku sama sekali meleset. Ternyata, bis kami diminta menunggunya. Tanpa pemberitahuan kepada jamaah lainnya, tanpa ba-bi-bu, kami semua diminta tanpa komentar untuk setia menunggunya.

Saya sampai tidak habis pikir, apakah si “Tuan” ini sama sekali tidak mempunyai empati terhadap anggota rombongan yang lainnya? Apakah dia benar-benar tidak punya nurani, dengan mengabaikan hak-hak orang lain? Apakah dia ingin menunjukan siapa dirinya, yang jika dilihat dari di mana dia tinggal dia sepertinya orang kaya – seseorang berkata kayaaaa banget? Apakah dia ingin menunjukan bahwa “elo sekalian kan kacung, udah tungguin gue”? Yang paling menohokku adalah bukankah dia justru mempertontonkan kebodohannya, karena sama sekali tidak mengambil pelajaran dari haji dan inti dari mabrur – apalagi katanya haji ini adalah haji keduanya?

Jelas sekali kekecewaan para anggota rombongan yang lain, yang mencoba disembunyikan. Ya, disembunyikan, berhubung mereka berusaha menjaga hati. Tapi raut wajah mereka tidak bisa menutupinya. Apalagi ditambah dengan beberapa bisik-bisik sana sini. Bisa terbayang, bagaimana kesalnya jika hak empat puluh empat anggota rombongan diabaikan begitu saja oleh satu orang? Bagaimana tidak menjengkelkan jika dia melakukan hal itu tanpa minta ijin kepada anggota rombongan, atau sekedar basa-basi? Apakah memang dia ingin menunjukan apa yang Pak Ustadz ingatkan sejak awal “elu tahu siapa gue?” Padahal kan selain dia, banyak juga mereka yang mempunyai posisi yang sama atau lebih, kekayaan yang sama atau lebih, dan mereka biasa-biasa saja tuh.

Dan bagi saya, dia sudah tidak ada harganya. Dia sedang memperlihatkan kebodohannya. Sekaya apapun dia, seberkuasa apapun dia, tanpa empati dirinya tidak berarti. Tanpa penghargaan kepada orang lain, dirinya – yang sekaya apapun dan seberkuasa apapun – tidak akan dihargai.

Dan itulah yang terjadi. Di kala hampir tiga puluh menit berlalu dan dia kembali ke bis, jamaah di bis yang sudah menggerutu dan kesal – mungkin beberapa dari mereka bisa saja sudah berdo’a sebagai orang teraniaya – memberikan tepuk tangannya secara massal. Bukan tepuk tangan sanjungan, tapi tepuk tangan cemoohan – itupun jika dia mengerti. Dan sekali lagi sebuah label negative ditempelken dirinya di keningnya: “tak punya empati”. Dan hilanglah sebuah indikasi kemabruran dirinya – dilihat dari kacamata saya pribadi yang awam ini.

Ya Allah, mudah-mudahan Kau bisa berikan penyadaran kepada saudaraku akan hakikat empati dan negatifnya egois. Kuatkan juga kami untuk tetap beristiqamah.

Sahabat.

Kisah ini mungkin bisa dijadikan pelajaran berharga bahwa seseorang yang merasa berada di awang-awang, kaya dan berkuasa, harus tetap memiliki nurani dan empati untuk bisa diterima oleh lingkungan. Haji tidak akan berarti jika seseorang tidak mendapatkan perubahan diri menjadi lebih baik.

Jadi teringat sebuah nyanyian motivasi haji:
Kami pergi berhaji, demi mabrur hakiki
Maghfirah kami cari, dengan tobat sejati
Gigih merubah diri, jadi hamba Ilahi
Allah..Allah, mohon ridhoi kami
Bahagia, sukses, mulia abadi

Cag, 25 November 2010